Behind the Scene: Logika Aristoteles (Ἀριστοτέλης λογική) – Ep 02

Hai gans, di postingan kali ini gua pengen ngangkat tema tentang ringkasan pengenalan filsafat aristoteles. Ini sebetulnya masuk dalam tugas makalah filsafat dulu pas jaman gua masih kuliah. Jadi sorry yak klo bahasanya bukan bahasa percakapan dua arah. Oya walaupun gua penikmat filsafat timur, tapi gua tetep seneng juga sama filsafat barat ama Islam. Dan tulisan ini adalah kompilasi dari beberapa macam sumber yang gua sendiri juga udah lupa dan ga apal dapet dari mana aja. Sebagian besar gua dapet dari sebuah note di sini. Bagus banget loh tulisannya si bapak. Thanks alot ya pak~ Ahahahaha… Btw per quote mengacu pada sebuah sumber yang bisa ditelusuri. Anyway, met menikmati. : D

Episode: Behind the Scene – 02
Title: Logika Aristoteles (Ἀριστοτέλης λογική)
Tingkat Kesusahan: 2/5

Logika dan Sejarah Singkat

Logika (λογική) [1] adalah sebuah studi tentang alasan [2]. Ditinjau dari segi bahasa, λογική bisa berarti intelektual, dialektikal, ataupun argumentatif. Kata λογική berhubungan dengan kata λόγος yang berarti “perkataan, pemikiran, idea, argumentasi, alasan, atau prinsip”. Logika bisa dibilang merupakan salah satu studi utama dalam filsafat, matematika, dan komputer. Jika kita sering mendengar “Bagaimana kita tahu apa yang kita tahu?” dalam filsafat, maka kita akan menemukan banyak persamaan logika bahasa formal dalam matematika maupun komputer [3].

Dalam perkembangannya, sebenarnya kata logika tidak dipergunakan oleh Aristoteles [4]. Aristoteles bahkan cenderung menggunakan kata analitika (ἀναλυτικά) untuk merujuk pemikiran yang ia miliki. Kata logika sendiri digunakan oleh Cicero (106-43 SM), untuk merujuk pemikiran Aristoteles ini, namun dalam artian “seni berdebat”. Adapun Alexander dari Aphrodisius (200 M), menggunakan istilah logika dengan pengertian yang kita pahami saat ini.

Ibn Sina mendefiniskan logika sebagai “alat pembeda antara benar dan salah” [5]. Adapun Frege mendefinisikan logika sebagai “ilmu dari hukum paling umum tentang kebenaran”. Aristoteles sendiri meletakkan logika sebagai fondasi paling dasar dari filsafat.

Pemikiran Aristoteles sangat berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran dalam dunia Islam. Puncak pengaruh logika Aristoteles dalam dunia Islam terjadi pada masa al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina (980-1037 M). Akan tetapi logika Aristoteles mengalami kemunduran yang cukup memprihatinkan setelahnya. Logika Aristoteles menuai serangan dari al-Ghazali (1058-1111 M) karena dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan Suhrawardi (1154-1192 M) [6]. Di dunia Barat pun, logika ini mendapat serangan dari Peter Ramus (1515-1572 M) [7], Francis Bacon (1561-1626 M) [8], Leibniz (1596-1650 M) [9]. Sampai akhirnya logika ini benar-benar selesai setelah ditemukan logika modern, kalkulus proporsional, oleh CS Peirce (1839-1914 M) dan G Frege (1848-1925 M).

Logika Aristoteles pada masanya lebih dikenal sebagai mazhab peripatetik (περιπατητικός). Kata περιπατητικός sendiri memiliki arti berjalan-jalan. Karena ketika Aristoteles mengajar, ia cenderung memberikan materi kepada para peserta, sambil berjalan-jalan. Berbeda dengan Plato (Πλάτων), di mana dalam kelasnya Plato cenderung mengajak dialog kepada para peserta kelas.

Peripatetik pada masa itu memiliki mazhab-mazhab pesaing. Dimulai dari mazhab Stoa (Στοά) yang dibangun oleh Zeno dari Kitieus (Ζήνων ὁ Κιτιεύς), dimana dinyatakan bahwa emosi yang destruktif dapat membawa keputusan yang salah dan maka dari itu sophos (orang-orang bijak), seharusnya tidak akan memiliki emosi semacam itu [10]. Begitu juga mazhab Epicurus (Ἐπίκουρος) yang bersifat materialistik. Epicurus sendiri adalah seorang materialist atom, di mana pahamnya dikenal sebagai bentuk dari Hedonisme. Lebih lanjut dalam bahasa ibrani, Apiqoros (אפיקורוס) memiliki arti bid’ah, sehingga Epicurus lebih dikenal sebagai “Filsuf Kegelapan”.

thanks to: Copy of Lysippus Ludovisi Coll Jastrow

thanks to: Copy of Lysippus Ludovisi Coll Jastrow

Memahami Logika

Objek dan lingkup kerja logika, adalah bertalian dengan pemikiran. Dalam hal ini, pemikiran tidak dipandang sebagai sebuah subjek dari psikologis, akan tetapi dari hubungan-hubungan antar ide yang memiliki pertalian dalam pengertian yang sama dengan banyak individu. Maka dari itu, logika bukanlah bagian dari psikologis. Namun, logika bisa dipelajari dalam dirinya sendiri. Melalui bagaimana struktur internal logika, hubungannya dengan keniscayaan atara timbal balik. Sehingga objek logika merupakan sebuah hal bagaimana manusia itu berpikir [11]. Maka dari itu, Aristoteles menyatakan bahwa logika bukanlah bagian dari filsafat [12][13].

Logika bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan, tetapi pendahulunya, sebagai persiapan untuk berpikir lebih jauh lagi. Dengan kata lain, logika adalah alat dasar yang kita pergunakan untuk berpikir, alat dasar yang membimbing kita untuk berpikir benar.

Silogisme dan Tingkatannya

Logika Aristoteles sebetulnya berpusat pada silogisme, sebuah argumentasi yang terdiri atas tiga proposisi. Setiap proposisi dibedakan atas dua unsur, subjek dan predikat. Tiap proposisi membentuk sebuah premis yang memiliki tingkatan. Al-Farabi membagi premis-premis silogisme menjadi empat macam. Pengetahuan primer, pengetahuan indera, opini yang umumnya diterima, dan opini yang diterima. Tiap premis memiliki tingkat kepercayaan berbeda-beda [14].

Sebuah premis dikatakan meyakinkan jika memenuhi tiga syarat berikut. Pertama, kepercayaan bahwa sesuatu itu berada atau tidak dalam kondisi spesifik. Kedua, kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang lain selain darinya. Ketiga, kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Jika hanya mengacu kepada dua kriteria pertama di atas, maka premis dikatakan mendekati keyakinan. Sedangkan jika hanya mengacu kepada kriteria pertama, maka premis dikatakan dipercaya belaka [15][16].

Alhasil, keputusan dari silogisme ini juga memiliki hierarki tingkat kepercayaan.

Sebuah silogisme dinyatakan sebagai silogisme analitika jika dia mengacu kepada premis-premis yang benar, primer, dan memang diperlukan. Adapun dikatakan sebagai silogisme dialektika jika dia mengacu kepada premis-premis yang hanya sampai bertaraf mendekati keyakinan.

Walau begitu, silogisme dialektika masih jauh lebih unggul dibanding pengetahuan hasil retorik atau puitik. Karena pada metode retorik, salah satu premis utamanya telah dibuang, sehingga keputusannya tidak meyakinkan. Walau begitu metode retorik memang bagus jika digunakan sebagai alat persuasif.

Plato, Aristoteles, dan Suhrawardi

Plato menyatakan bahwa konsepsi yang ada sebetulnya diambil dari alam idea. Di mana Plato meyakini bahwa kebenaran dasar yang ada, bersumber dari alam idea [17][18]. Benda konkrit dan semacamnya itu sendiri tidak lain adalah manifestasi proyeksi atas kebenaran dasar dari alam idea, atau bisa disebutkan sebagai kebenaran yang menjadi. Plato sendiri meyakini bahwa sebelum manusia dilahirkan, manusia pastilah mengalami pre-ekstensi di alam idea. Di mana konsepsi baik buruk diterima dan didapati oleh manusia di sana [19][20].

Adapun Aristoteles menyatakan bahwa konsepsi yang ada diambil dari kenyataan yang ada di alam, yang bisa dirasakan oleh indera, untuk selanjutnya bisa diungkapkan sebagai kebenaran yang lebih tinggi daripada indera. Dengan kata lain, Aristoteles menyatakan bahwa alam idea tidak lain adalah manifestasi proyeksi dari alam konkrit atau alam indera. Sehingga kebenaran dasar yang ada, sebetulnya berada pada alam indera. Praktis, segala sesuatu di luar alam indera, walaupun benda yang tak terlihat sekalipun, akan tergategorikan sebagai entitas dengan sebutan belaka pada logika Aristoteles ini. Logika Aristoteles ini menjadi dasar metoda empirisme yang kita kenal sekarang ini [21].

Sedangkan Suhrawardi menyerang Aristoteles dengan argumentasi sebagai berikut; Setidaknya ada tiga prinsip yang menjadi kekurangan dalam logika Aristoteles. Pertama, ada kebenaran-kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh rasio atau didekati lewat logika. Kedua, ada ekstensi yang bisa dicapai nalar, tetapi tidak bisa dijelaskan logika, seperti warna. Ketiga, prinsip silogisme yang menyatakan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain dapat menggiring ke proses tanpa akhir. Sehingga tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Implikasi dari ketiga kelemahan ini adalah, silogisme tidak bisa menyingkap seluruh kebenaran dan kenyataan yang ada di alam semesta ini.

Moral

Logika aristoteles adalah salah satu logika yang cukup memukau untuk diamati. Walau secara pribadi penulis sedikit banyak tidak memiliki kesepahaman mutlak terhadap metode silogisme aristoteles, namun senang rasanya metode semacam ini ada dan pernah dicetuskan di dunia ini. Bagi anda yang ingin mencoba sudut pandang lain dari pemahaman suatu hal, anda bisa mencoba kalkulus proporsional atau teori tentang ada. Dari situ mungkin anda bisa mendapatkan prespektif tersendiri tentang kehidupan dan pemahaman lebih bijak tentang dunia. Akhir kata, selamat berpikir. :”>